PERJANJIAN PRANIKAH (PRENUPTIAL AGREEMENT)
05.01.00
Adapun perjanjian pranikah (prenuptial agreement), yaitu
suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat
kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan
dilangsungkan.
Perjanjian pranikah biasanya dibuat untuk kepentingan
perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri,
meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang
dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada kedua pihak.
Tujuan diadakannya perjanjian pranikah :
- dapat menjadi acuan jika suatu saat timbul konflik;
- menjadi salah satu landasan masing-masing pasangan dalam melaksanakan, dan memberikan batas-batas hak dan kewajiban mereka.
DASAR HUKUMNYA;
Dalam Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan, hal perjanjian
perkawinan diatur dalam Bab V tentang
Perjanjian Perkawinan, yaitu pada pasal 29 ayat 1, 2, 3, dan 4 sebagai berikut.:
- Pasal 29 ayat (1)
Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Pasal 29 Ayat (2)
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
- Pasal 29 Ayat (3)
Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
- Pasal 29 Ayat (4)
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
KEDUDUKAN PERJANJIAN PRANIKAH
Menurut M. Rezfah Omar;
posisi perjanjian sebelum pernikahan lebih kuat daripada
peraturan-peraturan yang ada dalam UU No 1/1974 tentang Perkawinan, karena
perjanjian tersebut dapat melindungi hak kedua belah pihak. Jika terjadi
perceraian dan sengketa di antara keduanya, maka perjanjian pranikah bisa
dijadikan pegangan untuk penyelesaian. Bahkan, apa yang diatur oleh UU
Perkawinan bisa batal oleh perjanjian pranikah.
Menurut Oliver Richard Jones
- perjanjian perkawinan tidak melanggar UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yaitu konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
- Perjanjian perkawinan dibuat pada masa akad nikah. Perjanjian perkawinan boleh menyangkut taklik talak, yaitu janji suami untuk menceraikan istrinya dalam keadaan tertentu seperti suami tersebut meninggalkan istrinya atau tidak melakukan kewajibannya. Seorang istri berhak mengajukan gugatan perceraian berdasarkan pelanggaran taklik talak.
MATERI PERJANJIAN PRANIKAH
- Pengaturan masalah harta kekayaan dalam perkawinan;
- Mengatur masalah keuangan keluarga;
- Pengaturan masalah hak dan kewajiban serta pembagian kerja antara suami istri;
- Pengaturan masalah pengurusan anak;
- Menyangkut persoalan taklik talak;
- persoalan poligami;
- persoalan mahar;
- Persoalan bagaimana jika nanti terjadi perceraian;
- persoalanmenempuh pendidikan bagi perempuan;
- Dan hal-hal lain yg tdk bertentangan dgn agama, ketertiban dan kesusilaan
Manfaat dari perjanjian pranikah adalah dapat mengatur
penyelesaian dari masalah yang mungkin
akan timbul selama masa perkawinan, antara lain sebagai berikut:
- Tentang pemisahan harta kekayaan, jadi tidak ada ada harta gono gini. Syaratnya, harus dibuat sebelum pernikahan, kalau setelah menikah baru dibuat, jadi batal demi hukum dan harus dicatatkan di tempat pencatatan perkawinan. Kalau sudah menikah, sudah tidak bisa lagi bikin pisah harta. Semuanya menjadi harta gono gini.
- Mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja bikin perjanjian pembagian harta. Intinya dalam perjanjian pranikah bisa dicapai kesepakatan tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset, baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian.
- Tentang pemisahan hutang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah hutang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan hutang itu. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian.
- Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut. Terutama mengenai masalah biaya hidup anak, juga biaya pendidikannya harus diatur sedemikian rupa, berapa besar kontribusi masing-masing orangtua, dalam hal ini tujuannya agar kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.
0 komentar